Debu
itu terus melayang-layang mengikuti hembusan angin. Suara gesekan lembut dengan
perlahan menyentuh ranting-ranting pohon tanpa daun. Dengan riangnya,
udara panas tadi memaksa masuk ke sudut perkampungan. Membuat perkampungan itu
terasa tak bernyawa. Air yang turun di musim penghujan, tidak mampu lagi
bertahan lama. Yang tersisa hanya tanah kering penuh retakan. Bagaikan pasir
yang selalu di lalap api tak henti.
Kampung
itu memiliki warga yang gigih dalam bekerja, warga yang selalu berusaha keras
untuk mendapatkan uang demi tuntutan sesuap nasi bagi keluarganya. Tak ada kata
menyerah dalam diri mereka. Bahkan panas dan hujan, tidak menjadi halangan
dalam bekerja. Mereka bukanlah seorang Dokter, Pengusaha, atau para Koruptor.
Mereka hanyalah seorang pemulung yang berjuang untuk hidup dan pergi ke kota
untuk memulung.
Dulu,
perkampungan ini memiliki tanah yang subur. Air tersimpan dengan banyak dan
warganya sejahtera. Mereka bekerja sebagai petani. Dan air mengalir ke
sawah-sawah tanpa hambatan. Namun, kehidupan mereka kini terampas oleh para
penguasa tak berperasaan. Tanah mereka di jual ke pihak asing tanpa kesepakatan
terlebih dahulu. Pohon di tebang secara membabi buta. Sekarang mereka sedang
berjuang untuk hidup, dengan harapan bahwa hidup ini mungkin akan berubah.
Sungguh ironi nasib bangsa ini.
“Yakin!”,
itulah isi hati seorang bapak yang sedang mengayuh sepeda dengan tenggorokannya
yang kering. Kakinya yang dulu kekar, kini tak berdaya lagi untuk melaju cepat
di jalan kering ini. Hembusan napas dengan tergesa-gesa menggambarkan ia sedang
terburu-buru. Memang, terlihat anak kecil sedang duduk berpegangan erat ke
pinggang ayahnya. Anak itu memakai seragam putih merah. Kira-kira berumur 9
tahun. Jam menunjukan pukul 7.30. Mereka terlambat ke sekolah.
__________________
Kehidupan
yang sulit ini, memaksa semua warga untuk tetap saling bersahaja. Mereka masih
menjunjung tinggi adat istiadat para leluhur dengan sikap toleransi yang
tinggi. Namun, kenyataan pahit itu masih terasa oleh mereka. Pendidikan tidak
berlaku disini. Sekolah yang ada sejauh 15 Km dari perkampungan. Karena alasan
itulah hampir semua anak di kampung ini putus sekolah. Meskipun beberapa
orangtua yang masih sadar akan pendidikan.
Angin
malam yang dingin sungguh kontras dengan panasnya matahari yang terik di siang
hari. Menusuk menjalar ke seluruh tubuh. Selimut tebal tidak cukup hangat untuk
menahan dinginnya udara ini. Hanya diam dan menunggu. Menunggu sinar matahari
di pagi hari yang mungkin bisa mengahangatkan tubuh mereka.
Malam
itu Fadil sedang berbicara dengan ayahnya. Mereka berencana untuk membeli buku
catatan pelajaran PKN sebelum berangkat sekolah, karena buku sebelumnya telah
habis di pakai dari kelas 2 SD. Toko buku itu berada di perkampungan sebelah.
Dimana mereka harus memutar arah agar bisa pergi ke perkampungan itu terlebih
dahulu. Waktu tempuh sudah mereka perhitungkan, yaitu harus bangun lebih awal
dari biasanya.
Mereka
berbicara dengan penuh kehangatan. Dan menjadi salah satu penghibur mereka di
saat hari-hari yang sulit dan melelahkan. Sambil menepuk bahu anaknya, sang
ayah berpesan seperti biasanya. Suaranya yang lemah akibat terlekang oleh
waktu, membuat sang ayah harus berhati-hati dalam berbicara karena takut
tersedak. Fadil mendengarkan dengan seksama, sambil mengangguk-ngangguk
terdiam. Pertanda, bahwa perkataan ayahnya sudah tidak asing di telinga Fadil.
Ibu Fadil duduk diam di samping radionya yang usang sambil menjahit baju sobek
milik sang suami.
Pagi
itu, waktu tempuh yang telah di perkirakan melenceng jauh. Mereka terlambat
kesekolah akibat ban sepedanya yang kempes. Karena itulah mereka harus menambal
terlebih dahulu di rumah. Untung saja, ayah Fadil dengan cekatan secara cepat
dapat mengatasinya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama.
Dengan
tergesa-gesa, sang ayah terus mengayuh sepeda. Keringat terus mengalir
membuat baju rapihnya basah. Sambil membawa buku di tangan, Fadil memegang erat
pinggang sang ayah.
Di
tengah perjalanan, terlihat seorang anak seumuran Fadil menggendong anak kecil
di punggungnya. Gendongan itu tertutupi tas besar yang hampir menutupi setengah
tubuhnya yang mungil. Ia adalah Arif, teman sekolah Fadil satu-satunya dari
kampung sebelah. Sepeda yang tadi melaju cukup cepat kini berhenti. Dengan
tergesa-gesa, sang ayah mencoba mengatur napas untuk bertanya kepada Arif.
Seperti biasanya, tutur lembut suara itu terdengar merdu menyejukan hati. “Nak,
kenapa kamu tidak sekolah?”, tanya ayah. Arif terdiam sejenak, suara nyaring
terdengar lugu “Ayah saya sedang sakit, saya harus memulung”. Sang ayah tampak
murung dan merunduk menyesal, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan berat
hati, sepedapun kembali melaju. Fadil terus melihat Arif, tampak mengecil
dan menghilang dari kejauhan.
Perjalanan
hampir sampai. Namun kayuhan sepeda menjadi semakin lambat. Dengan lemas,
tangan sang ayah memegang erat tangan Fadil. Brughhh!! Sepeda terjatuh dengan
tiba-tiba. Sang ayah terbujur kaku tak terusik. Fadil sembari menangis
ketakutan mencoba merangkul kepala ayahnya. Wajahnya tampak pucat. Ayahnya
sudah tidak bernyawa. Jeritan Fadil memanggil sang ayah menggema membelah udara
sepi hamparan ladang luas kala itu. Dalam tangisannya, Fadil hanya bisa
mengingat satu pesan yang selalu di sampaikan ayahnya tiap malam, “tetap lanjutkan
sekolahmu nak”.
Sumber: http://sambilberbagi.blogspot.com/2012/05/cerpen-pendidikan-pesan-itu-masih-ada.html