twitter
rss



Debu itu terus melayang-layang mengikuti hembusan angin. Suara gesekan lembut dengan perlahan menyentuh ranting-ranting pohon tanpa daun.  Dengan riangnya, udara panas tadi memaksa masuk ke sudut perkampungan. Membuat perkampungan itu terasa tak bernyawa. Air yang turun di musim penghujan, tidak mampu lagi bertahan lama. Yang tersisa hanya tanah kering penuh retakan. Bagaikan pasir yang selalu di lalap api tak henti. 
Kampung itu memiliki warga yang gigih dalam bekerja, warga yang selalu berusaha keras untuk mendapatkan uang demi tuntutan sesuap nasi bagi keluarganya. Tak ada kata menyerah dalam diri mereka. Bahkan panas dan hujan, tidak menjadi halangan dalam bekerja. Mereka bukanlah seorang Dokter, Pengusaha, atau para Koruptor. Mereka hanyalah seorang pemulung yang berjuang untuk hidup dan pergi ke kota untuk memulung. 

Dulu, perkampungan ini memiliki tanah yang subur. Air tersimpan dengan banyak dan warganya sejahtera. Mereka bekerja sebagai petani. Dan air mengalir ke sawah-sawah tanpa hambatan. Namun, kehidupan mereka kini terampas oleh para penguasa tak berperasaan. Tanah mereka di jual ke pihak asing tanpa kesepakatan terlebih dahulu. Pohon di tebang secara membabi buta. Sekarang mereka sedang berjuang untuk hidup, dengan harapan bahwa hidup ini mungkin akan berubah. Sungguh ironi nasib bangsa ini.
“Yakin!”, itulah isi hati seorang bapak yang sedang mengayuh sepeda dengan tenggorokannya yang kering. Kakinya yang dulu kekar, kini tak berdaya lagi untuk melaju cepat di jalan kering ini. Hembusan napas dengan tergesa-gesa menggambarkan ia sedang terburu-buru. Memang, terlihat anak kecil sedang duduk berpegangan erat ke pinggang ayahnya. Anak itu memakai seragam putih merah. Kira-kira berumur 9 tahun. Jam menunjukan pukul 7.30. Mereka terlambat ke sekolah.
__________________
Kehidupan yang sulit ini, memaksa semua warga untuk tetap saling bersahaja. Mereka masih menjunjung tinggi adat istiadat para leluhur dengan sikap toleransi yang tinggi. Namun, kenyataan pahit itu masih terasa oleh mereka. Pendidikan tidak berlaku disini. Sekolah yang ada sejauh 15 Km dari perkampungan. Karena alasan itulah hampir semua anak di kampung ini putus sekolah. Meskipun beberapa orangtua yang masih sadar akan pendidikan.
Angin malam yang dingin sungguh kontras dengan panasnya matahari yang terik di siang hari. Menusuk menjalar ke seluruh tubuh. Selimut tebal tidak cukup hangat untuk menahan dinginnya udara ini. Hanya diam dan menunggu. Menunggu sinar matahari di pagi hari yang mungkin bisa mengahangatkan tubuh mereka.
Malam itu Fadil sedang berbicara dengan ayahnya. Mereka berencana untuk membeli buku catatan pelajaran PKN sebelum berangkat sekolah, karena buku sebelumnya telah habis di pakai dari kelas 2 SD. Toko buku itu berada di perkampungan sebelah. Dimana mereka harus memutar arah agar bisa pergi ke perkampungan itu terlebih dahulu. Waktu tempuh sudah mereka perhitungkan, yaitu harus bangun lebih awal dari biasanya.
Mereka berbicara dengan penuh kehangatan. Dan menjadi salah satu penghibur mereka di saat hari-hari yang sulit dan melelahkan. Sambil menepuk bahu anaknya, sang ayah berpesan seperti biasanya. Suaranya yang lemah akibat terlekang oleh waktu, membuat sang ayah harus berhati-hati dalam berbicara karena takut tersedak. Fadil mendengarkan dengan seksama, sambil mengangguk-ngangguk terdiam. Pertanda, bahwa perkataan ayahnya sudah tidak asing di telinga Fadil. Ibu Fadil duduk diam di samping radionya yang usang sambil menjahit baju sobek milik sang suami.
Pagi itu, waktu tempuh yang telah di perkirakan melenceng jauh. Mereka terlambat kesekolah akibat ban sepedanya yang kempes. Karena itulah mereka harus menambal terlebih dahulu di rumah. Untung saja, ayah Fadil dengan cekatan secara cepat dapat mengatasinya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama.
Dengan tergesa-gesa,  sang ayah terus mengayuh sepeda. Keringat terus mengalir membuat baju rapihnya basah. Sambil membawa buku di tangan, Fadil memegang erat pinggang sang ayah. 
Di tengah perjalanan, terlihat seorang anak seumuran Fadil menggendong anak kecil di punggungnya. Gendongan itu tertutupi tas besar yang hampir menutupi setengah tubuhnya yang mungil. Ia adalah Arif, teman sekolah Fadil satu-satunya dari kampung sebelah. Sepeda yang tadi melaju cukup cepat kini berhenti. Dengan tergesa-gesa, sang ayah mencoba mengatur napas untuk bertanya kepada Arif. Seperti biasanya, tutur lembut suara itu terdengar merdu menyejukan hati. “Nak, kenapa kamu tidak sekolah?”, tanya ayah. Arif terdiam sejenak, suara nyaring terdengar lugu “Ayah saya sedang sakit, saya harus memulung”. Sang ayah tampak murung dan merunduk menyesal, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan berat hati,  sepedapun kembali melaju. Fadil terus melihat Arif, tampak mengecil dan menghilang dari kejauhan. 
Perjalanan hampir sampai. Namun kayuhan sepeda menjadi semakin lambat. Dengan lemas, tangan sang ayah memegang erat tangan Fadil. Brughhh!! Sepeda terjatuh dengan tiba-tiba. Sang ayah terbujur kaku tak terusik. Fadil sembari menangis ketakutan mencoba merangkul kepala ayahnya. Wajahnya tampak pucat. Ayahnya sudah tidak bernyawa. Jeritan Fadil memanggil sang ayah menggema membelah udara sepi hamparan ladang luas kala itu. Dalam tangisannya, Fadil hanya bisa mengingat satu pesan yang selalu di sampaikan ayahnya tiap malam, “tetap lanjutkan sekolahmu nak”.


Sumber: http://sambilberbagi.blogspot.com/2012/05/cerpen-pendidikan-pesan-itu-masih-ada.html

0 komentar:

Posting Komentar